Kenapa Ya Anakku Menolak Pergi ke Sekolah
  1. Home
  2. Kenapa Ya Anakku Menolak Pergi ke Sekolah?
icon user

Rumah Dandelion Official

Remaja

Kenapa Ya Anakku Menolak Pergi ke Sekolah?

Apakah parents pernah mengalami anak yang menolak pergi ke sekolah berkali-kali? Mungkin bila anak menolak pergi sekali atau dua kali saja dalam kurun waktu seminggu, orang tua menganggap ini sebagai hal yang wajar. Namun, bila anak semakin sering menolak untuk pergi ke sekolah dan menunjukkan tingkah laku yang tidak biasanya, orang tua harus mulai memberikan perhatian lebih kepada anak dalam keadaan ini.

Mengapa anak menolak ke sekolah?

Pada dasarnya, banyak hal yang mengakibatkan anak menolak untuk pergi ke sekolah. Bila memang kondisi kesehatan anak menurun, mungkin anak akan menolak pergi ke sekolah. Adanya beban tugas yang anak alami, guru yang tidak disukai atau kondisi lingkungan sekolah juga kerap membuat anak menolak pergi ke sekolah (Salemi & Brown, 2003). Tidak hanya itu, keadaan dimana anak menolak pergi ke sekolah dapat dikarenakan adanya kecemasan ketika ia berpisah dengan orangtua, kecemasan berhadapan dengan lingkungan sosial, ataupun kecemasan dalam hal performa di sekolah (Wimmer, 2010). Keadaan seperti ini disebut dengan school refusal atau biasa dikenal dengan istilah school phobia.

Apa itu school phobia?

School phobia atau school refusal dapat diartikan sebagai kecemasan yang dialami oleh anak usia sekolah dengan ditandai ketakutan yang intens untuk pergi ke sekolah (Salemi & Brown, 2003). Terdapat beberapa karakteristik dari anak yang mengalami keadaan ini yaitu kecemasan berlebih saat akan pergi ke sekolah, depresi dan keluhan akan keadaan fisik (Wimmer, 2010).

Kecemasan yang dialami anak dapat dikarenakan kecemasan berpisah dengan orangtua atau pengasuh. Pada keadaan ini, anak biasanya akan menangis, berlari menjauhi sekolah, menendang ataupun merengek untuk minta pulang. Kecemasan semacam ini umum pada anak yang baru memasuki dunia sekolah. Selanjutnya, terdapat juga kecemasan akan lingkungan sosial. Pada kecemasan semacam ini, anak merasa cemas dengan performanya di sekolah. Anak merasa cemas akan penilaian di lingkungan sekolah yang dapat membuat dirinya merasa malu.

Selanjutnya, school phobia dapat dikarenakan depresi yang dialami anak. Keadaan ini ditandai dengan mood anak yang buruk, ketidaktertarikan anak dengan aktivitas sehari-hari, kesulitan dalam membangun hubungan dengan teman sekitar, kelelahan, sulit berkonsentrasi dan kerap merasa bersalah. Terakhir, yaitu keluhan fisik yang kerap anak alami. Keluhan ini dapat berupa sakit kepala atau sakit perut. Terkadang orang tua merasa bingung apakah keluhan fisik yang dialami anak memang benar karena sakit atau karena ia menolak untuk ke sekolah. Oleh karena itu, orang tua harus mencermati keluhan fisik yang dialami oleh anak, apakah benar karena ia sakit atau dikarenakan adanya ketakutan untuk masuk sekolah. School phobia yang dialami seorang anak tidak terbatas pada anak yang baru memasuki dunia sekolah saja. Menurut Berns (2013), school phobia dapat terjadi pada anak yang baru masuk ke dunia sekolah bahkan ketika ia beranjak remaja.

Apa yang bisa orang tua lakukan jika anak terus menolak ke sekolah?

Dampak dari school phobia ini tentulah beragam. Menurut Wimmer (2010), keadaan ini dapat mengakibatkan prestasi akademis anak menurun, anak menjadi takut dalam bersosialisasi, anak ketinggalan pelajaran. Keadaan ini bila dibiarkan lebih lanjut dapat turut mengakibatkan masalah pada kondisi psikologis anak. Oleh karenanya, terdapat beberapa kiat-kiat yang dapat orang tua lakukan untuk menurunkan resiko dari school phobia, di antaranya:

  • Membuat rutinitas pagi hari yang menyenangkan bagi anak sebelum pergi ke sekolah. Rutinitas itu diantaranya membuatkan sarapan dengan bentuk yang lucu bagi anak, menyiapkan sarapan bersama, membereskan kamar tidur diiringi lagu-lagu kesukaan anak dan lainnya.

  • Mendengarkan curahan hati anak dari hati ke hati. Bangun komunikasi positif dengan anak dan menanyakan mengenai apa saja yang anak lakukan di sekolah pada hari tersebut.

  • Mencoba berkenalan dengan teman-teman dekat anak di kelas. Dengan hal itu, orangtua menjadi tahu bagaimana sosialisasi anak di sekolah.

  • Menjaga kontak dan hubungan dengan guru dan pihak sekolah. Hal ini dapat membuat orangtua memahami bagaimana iklim sekolah dan anak pun mendapat perhatian dari pihak sekolah.

  • Memuji anak dengan apa yang ia raih di sekolah. Hal ini dapat membuat self-esteem anak berkembang dan ia merasa bahwa pekerjaannya dihargai oleh lingkungan sekitarnya.

Yang paling penting adalah kita mau berempati dengan rasa tidak nyaman yang dialami anak. Bantu mereka mendapatkan kenyamanan dan keberanian untuk kembali menjalani rutinitas sekolahnya. Semoga artikel ini membantu ya, Parents. Semangat!

 

Oleh: Tiza Meidrina, S.Psi.

Referensi:

Berns, R.M. (2013). Child, family, school, community socialization and support 9th edition.  Belmont: Wadsworth Cengage Learning

Salemi, A.T., & Brown, K. M. (2003). School phobia: Implications for school health educators. American Journal of Health Education, 34(4), 199. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/212637196?accountid=17242

Wimmer, M. (2010). School refusal: information for educators. National Association of School Psychologists. Retrieved from http://nasponline.org/hchs3

Artikel Lainnya