Ketika Anak Mulai Berbohong
  1. Home
  2. Ketika Anak Mulai Berbohong
icon user

Rumah Dandelion Official

Remaja

Ketika Anak Mulai Berbohong

Pada masa tertentu, orang tua kerap mendapati bahwa anak-anak mereka mulai berbohong. Hal ini tentulah membuat orang tua merasa kaget dan kecewa. Sejak anak masih kecil, pastilah orang tua memberikan pesan-pesan moral yang baik untuk anak. Salah satunya adalah tidak berbohong kepada orang lain. Melihat keadaan tersebut, mungkin sebagian orang tua menjadi bingung dan khawatir mengenai perkembangan moral dan nilai-nilai yang anak mereka. Namun, apakah orang tua tahu alasan mengapa anak mulai berbohong?  Pada artikel ini, Rumah Dandelion akan membahas mengenai tingkah laku bohong pada anak, yuk kita cari tahu lebih lanjut!

Sejak kapan anak mulai berbohong?

Berbohong dapat didefinisikan sebagai suatu tindakan menyampaikan pernyataan verbal yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya dengan maksud menipu atau mengelabui orang lain (Lee, 2003, dalam Hays & Carver, 2014). Tindakan bohong dapat dilakukan oleh anak sejak mereka menginjak usia tiga tahun. Namun, pada usia yang berbeda, alasan anak berbohong pun juga berbeda. Meskipun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Wilson (2003, dalam Hays & Carver, 2014) menjelaskan bahwa alasan utama dari anak-anak melakukan tindakan bohong adalah untuk menghindari hukuman.

Seorang anak dapat melakukan tindakan bohong dikarenakan berbagai alasan. Pada anak usia toddler (2-3 tahun), umumnya mereka belum dapat membedakan antara fantasi dan realita. Sebagai contoh, ketika mereka menyatakan tentang kartun kesukaannya. Meskipun pernyataan mereka tidak sesuai dengan realita, namun tidak ada maksud untuk menipu atau mengelabui lawan bicaranya. Ketika anak memasuki usia 5 tahun, mereka mulai belajar untuk membedakan antara fantasi dan realita. Pada masa ini, anak tahu bahwa beberapa tindakan dapat mengecewakan orang lain dan mulai berkembang perasaan bersalah ketika melakukan suatu tindakan yang dianggap keliru.

Selanjutnya, saat anak menginjak usia sekolah dasar, mereka sudah menyadari perbedaan dari fantasi dan realita. Anak yang berada pada usia sekolah dasar mulai dapat memahami konsep polite social lying yang didasari untuk menghormati orang lain. Sebagai contoh, mereka mungkin saja mengatakan bahwa mereka menyukai suatu barang hanya untuk menyenangkan pemberinya. Memasuki usia remaja, seseorang melakukan tindakan bohong dikarenakan berbagai alasan. Terkadang mereka dapat melakukan tindakan tersebut untuk melindungi privasi mereka, menghindari situasi memalukan atau menjaga perasaan orang lain. pada tahap ini, seseorang sudah memahami segala konsekuensi yang mungkin mereka dapat dari tindakannya.

Meskipun anak sudah mulai mengatakan suatu pernyataan bohong sejak memasuki usia preschool, kemampuan ini baru benar-benar berkembang ketika memasuki usia middle childhood atau ketika berada di sekolah dasar (Talwar & Lee, 2008). Hal ini dikarenakan, untuk mengatakan suatu perkataan bohong tidak hanya melibatkan pernyataan yang salah, tetapi juga melibatkan tindakan yang mengikutinya setelah itu. konsistensi antara perkataan, tindakan, bahkan bahasa tubuh turut memengaruhi keberhasilan seorang anak dalam melakukan tindakan bohong.

Sebagai suatu perilaku sosial, tindakan bohong tidak terjadi begitu saja. Banyak hal yang turut terlibat hingga seseorang melakukan tindakan bohong, tidak terkecuali anak-anak. Menurut Bandura (1977, dalam Hays & Carver, 2014), observasi, modeling dan imitasi dari orang dewasa mempunyai peranan penting dari terjadinya tindakan ini. Menurut Lee (2013), hal lain yang terlibat dari tindakan bohong yaitu kemampuan seorang anak dalam memahami kondisi perasaan dan pikiran dirinya maupun orang lain. Tidak hanya itu, kondisi sosial budaya tempat seorang anak tumbuh dan dibesarkan memiliki andil besar dari tindakan tersebut. Sebagai contoh pada suatu budaya, white lies dianggap sebagai suatu hal yang dibenarkan, namun pada budaya lainnya mengatakan hal yang sebenarnya meskipun mungkin menyakiti perasaan pendengarnya lebih dianjurkan.

 

Lalu, hal apa saja yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk menanamkan nilai-nilai kejujuran pada anak?

  • Selalu memberi contoh untuk mengatakan yang benar kepada anak. Sebagai peniru yang ulung, anak-anak kerap mengikuti apa yang dicontohkan oleh orangtua di rumah.

  • Berusahalan untuk menepati janji yang orangtua katakan pada anak. Hal ini bertujuan agar anak memahami bahwa orangtua selalu berusaha menepati kata-katanya dan konsisten antara ucapan dan tindakannya.

  • Meminta maaf kepada anak ketika orangtua berbuat salah. Tindakan ini dapat memberikan pemahaman pada anak, bahwa semua orang pernah melakukan kesalahan, termasuk melakukan tindakan bohong. Oleh karena itu anak pun akan belajar untuk berbesar hati ketika meminta maaf kepada orang lain.

  • Ketika orangtua mengucapkan suatu perkataan bohong kepada orang lain di depan anak, maka jelaskan pada anak alasan dibalik tindakan tersebut atau nilai-nilai apa yang membuat orangtua melakukannya.

  • Pemberian hukuman pada anak atas tindakannya, dapat menjadi masalah yang serius. Orangtua harus mengingat kembali, bahwa anak kerap berbohong untuk menghindari hukuman.

  • Ucapkan terimakasih kepada anak ketika ia mengatakan sesuatu dengan jujur. Hal ini dapat membuat anak merasa bahwa ia telah melakukan sesuatu dengan benar dan akan mengulanginya di kemudian hari.

 

Nah, semoga pembahasan kali ini dapat membantu untuk lebih memahami alasan seorang anak berbohong dan bagaimana mengatasinya. Semangat ya, parents!

 

Oleh: Tiza Meidrina, S.Psi.

 

Referensi:

Childrens Center. Lying And Dishonesty. Retrieved from https://childrenscenter.sa.ucsb.edu/CMSMedia/Documents/ParentSupport/LyingAndDishonesty

Hays, C. and Carver, L. J. (2014). Follow the liar: the effects of adult lies on children’s honesty.  Dev Sci, 17, 977–983. doi:10.1111/desc.12171

Lee, K. (2013). Little liars: development of verbal deception in children. Child Development  Perspectives, 7(2), 91–96.

Talwar, V., & Lee, K. (2008). Social and cognitive correlates of children’s lying. Child  Development, 79 (4), 866–881.

Artikel Lainnya